Seiring kecerdasan buatan terus membentuk kembali operasi bisnis di seluruh dunia, muncul ketidaksesuaian yang signifikan antara harapan eksekutif dan kesiapan organisasi. Sementara para pemimpin bisnis semakin memandang AI sebagai transformatif, mereka juga mengungkapkan keraguan serius tentang kemampuan tim kepemimpinan mereka untuk menavigasi revolusi teknologi ini.
Kesenjangan Kesiapan AI
Survei terbaru dari Gartner terhadap 456 CEO dan eksekutif bisnis senior di seluruh dunia telah mengungkapkan kesenjangan kepercayaan yang mengkhawatirkan dalam kemampuan AI di tingkat C-suite. Meskipun 77% CEO memandang AI sebagai pembuka era bisnis baru, mereka melihat adanya kekurangan kritis dalam keahlian AI di antara jajaran kepemimpinan teratas mereka. Hanya 44% Chief Information Officers (CIO) yang dianggap memahami AI oleh para CEO mereka, meskipun eksekutif ini secara tradisional dipandang sebagai anggota tim kepemimpinan yang paling mahir teknologi. Yang lebih mengkhawatirkan, peran lain yang berfokus pada teknologi seperti Chief Information Security Officers (CISO) dan Chief Data Officers (CDO) juga dipersepsikan kurang memiliki pengetahuan AI yang memadai.
Temuan Utama Survei
- 77% CEO memandang AI sebagai pembuka era bisnis baru
- Hanya 44% CIO yang dianggap "paham AI" oleh para CEO
- Faktor-faktor utama yang membatasi penerapan AI: ketidakmampuan merekrut orang dengan keterampilan yang dibutuhkan dan kesulitan menghitung nilai/hasil
- Hanya 19% eksekutif tingkat C yang melaporkan peningkatan pendapatan melebihi 5% dari investasi AI di seluruh perusahaan
Hierarki Kepemimpinan dalam Kompetensi AI
Survei tersebut menetapkan hierarki yang jelas tentang persepsi kompetensi AI di antara eksekutif C-suite. CISO memimpin tipis dengan 46% CEO menganggap mereka memahami AI, diikuti oleh CIO sebesar 44%, dan CDO sebesar 40%. Penurunan setelah peran yang berfokus pada teknologi ini sangat drastis, dengan Chief Strategy Officers berada di posisi keempat yang jauh dengan hanya 24%. Posisi C-suite lainnya bahkan lebih buruk, dengan CEO mengungkapkan kepercayaan minimal (antara 7-18%) pada peran seperti Chief Revenue Officers, Chief Financial Officers, Chief Marketing Officers, dan Chief Human Resources Officers.
Peringkat Kepahaman AI di Kalangan C-Suite (Menurut CEO)
- Chief Information Security Officers (CISOs): 46%
- Chief Information Officers (CIOs): 44%
- Chief Data Officers (CDOs): 40%
- Chief Strategy Officers: 24%
- Peran C-suite lainnya (CRO, CFO, CMO, COO, dll.): 7-18%
Konteks Historis Kesenjangan Keterampilan
Kesenjangan keterampilan kepemimpinan ini bukanlah hal baru. Penelitian Gartner menunjukkan masalah yang terus berlanjut, karena survei serupa dari 2019-2020 juga menggambarkan pemahaman teknologi eksekutif sebagai tidak optimal. Yang membuat situasi saat ini lebih mendesak adalah percepatan adopsi AI yang cepat di berbagai industri dan tingginya taruhan dalam implementasi yang sukses. Seperti yang ditekankan oleh David Furlonger, analis VP terkemuka dan fellow Gartner: Jika pemahaman di seluruh C-suite tidak segera ditingkatkan, daya saing akan menurun, dan kelangsungan hidup perusahaan akan berada dalam bahaya.
Tantangan Implementasi di Luar Keterampilan
Kesenjangan keterampilan hanya mewakili satu dari beberapa hambatan untuk penerapan AI yang efektif. CEO mengidentifikasi dua faktor pembatas utama: ketidakmampuan untuk mempekerjakan jumlah profesional terampil yang memadai dan kesulitan menghitung nilai atau hasil AI. Faktor kedua ini sangat mengkhawatirkan, karena perusahaan terus berinvestasi besar dalam AI tanpa bukti jelas tentang pengembalian investasi. Laporan McKinsey yang dikutip dalam penelitian menemukan bahwa hanya 19% eksekutif tingkat C yang melaporkan peningkatan pendapatan melebihi 5% dari investasi AI di seluruh perusahaan.
Solusi Potensial
Alih-alih berfokus secara eksklusif pada perekrutan eksternal untuk mengatasi kesenjangan keterampilan AI, Gartner menyarankan organisasi untuk memprioritaskan peningkatan keterampilan tenaga kerja yang ada. Pendekatan ini menawarkan strategi jangka panjang yang lebih berkelanjutan untuk pertumbuhan bisnis sambil mengatasi kekurangan pengetahuan yang mendesak. Seiring AI terus berkembang pesat, menciptakan budaya pembelajaran dan adaptasi berkelanjutan mungkin terbukti lebih berharga daripada mengejar talenta eksternal yang langka.
Imperatif Kompetitif
Penelitian ini menegaskan bahwa kemahiran AI tidak lagi opsional bagi kepemimpinan bisnis. Dengan lebih dari tiga perempat CEO mengakui peran penentu AI dalam masa depan perusahaan mereka, organisasi yang gagal mengembangkan keahlian AI di seluruh tim kepemimpinan mereka berisiko tertinggal dari pesaing yang berhasil menavigasi transisi teknologi ini. Pesannya jelas: perusahaan harus bertindak tegas untuk menutup kesenjangan pengetahuan AI atau menghadapi konsekuensi potensial yang eksistensial dalam lanskap bisnis yang semakin didorong oleh AI.